A. ENERGI
- Pengertian Energi
Pada
tahun 1900 Max Plank mengemukakan suatu ide yang bersifat revolusioner bahwa
energi suatu osilator bersifat diskontinyu dan pada osilator tersebut terjadi
perubahan energi. Perubahan tersebut
sebagai akibat dari adanya dua tingkat energi yang berbeda dari sistem
tersebut.
Energi merupakan akibat dari
hasil interaksi antar partikel dalam materi.
2. Energi Entalpi (H)
Keadaan standar suatu zat adalah fase
dimana zat tersebut berada pada suhu 25°C (298,15K) dan tekanan 1 atmosfir serta
zat-zat diasumsikan berada dalam fase larutan pada konsentrasi 1 mol/L.
Fakta menunjukkan bahwa semua perubahan
fisika dan kimia selalu disertai dengan pelepasan atau penyerapan energi.
Umumnya energi tersebut dalam bentuk panas. Pelepasan atau peneyerapan panas
akan mengakibatkan perubahan kandungan panas senyawa yang terlibat dalam proses
tersebut. Kandungan panas tersebut dinamakan entalpi yang diberi simbol H,
perubahan kandungan panas disebut perubahan entalpi yang diberi simbol DH.
DH = (H produk) - (H reaktan) (1.1)
Jika produk dan reaktan berada dalam keadaan
standar maka perubahan entalpi standar dinyatakan dengan DH°, yakni perubahan entalpi standar dari
proses. Misalnya pembentukan H2O dari H2 dan O2
pada keadaan standar (STP).
H2
(g) + ½ O2 (g) = H2O (g) DH° = -285,7 kJ/mol.
Untuk maksud termokimia, kandungan panas dari
semua unsur dalam keadaan standar dapat diasumsikan sama dengan nol.
Pada persamaan di atas, DH° bernilai negatif artinya kandungan panas H2O(g)
lebih rendah dari kandungan panas H2 (g) dan O2 (g). Hal ini berati bahwa
dalam proses tersebut terjadi pelepasan panas. Secara umum dapat dinyatakan :
Jika DH° < 0, maka kandungan panas produk lebih
kecil dari kandungan panas reaktan (H
produk < H reaktan). Hal ini berarti bahwa dalam proses tersebut
terjadi pelepasan panas. Suatu reaksi kimia yang melibatkan pelepasan
panas disebut reaksi eksotermis. Sebaliknya,
jika DH° > 0, maka kandungan panas produk lebih
besar dari kandungan panas reaktan (H
produk > H reaktan). Hal ini berati bahwa dalam proses tersebut
terjadi penyerapan panas. Reaksi kimia yang melibatkan penyerapan panas disebut
reaksi endotermis.
Perubahan
entalpi standar untuk semua reaksi dapat ditentukan jika panas pembentukan
standar (DH°f) dari setiap reaktan dan produk diketahui. Nilai DH°f suatu zat merupakan nilai DH untuk proses dimana zat itu terbentuk
dari unsur-unsurnya dalam keadaan standar. Contoh : H2 (g) + ½ O2 (g) =
H2O (g) DH° = -285,7 kJ/mol. Nilai DH° tersebut pada hakekatnya
merupakan DH°f untuk air. Jadi harga DH°
untuk reaksi tersebut dapat dihitung dari nilai DH°f
dengan alasan bahwa persamaan-persamaan reaksi untuk DH°f
akan selalu dijumlahkan pada persamaan yang dikehendaki dan mengandung
unsur-unsurnya kecuali untuk spesies-spesies yang muncul dalam persamaan akhir,
sedangkan spesies-spesies yang lain akan tereliminir. Misalnya pada persamaan
reaksi berikut :
LiAlH4(s) + 4H2O(l) = LiOH(s)
+ Al(OH)3(s) + 4H2(g)
Reaksi ini dapat
diperoleh melalui tahapan-tahapan berikut :
LiAlH4(s) =
Li(s) + Al(s) + 2H2(g) -
DH°f = 117,2 kJ/mol
4H2O(l) = 4H2(g) + 2O2(g) - 4DH°f = 1143,0 kJ/mol
Li(s) + 1/2O2(g) +
1/2H2(g) = LiOH(s) DH°f = - 487,0 kJ/mol
Al(s) + 3/2O2(g) +
3/2H2(g) = Al(OH)3(s) DH°f = -1272,8 kJ/mol
LiAlH4(s) + 4H2O(l) = LiOH(s)
+ Al(OH)3(s) + 4H2(g) DH°
= - 734,0 kJ/mol
Dari
tahapan-tahapan reaksi di atas dapat dilihat bahwa nilai DH° reaksi LiAlH4(s) + 4H2O(l) = LiOH(s)
+ Al(OH)3(s) + 4H2(g) merupakan jumlah total dari DH°f produk dikurangi DH°f reaktan atau DH° = (å DH°f produk) - (å DH°f reaktan).
Hal yang identik
juga dapat diterapkan pada perubahan energi bebas, DG yang akan diuraikan
secara singkat pada pembahasan selanjutnya.
Disamping
pembentukan senyawa dari unsur-unsurnya, ada beberapa proses fisika dan kimia
yang memerlukan nilai-nilai DH° atau DH. Diantaranya
terdapat proses pelelehan (peleburan), dan penguapan atau sublimasi. Perubahan-perubahan
entalpi seperti ini disebut perubahan
entalpi spesifik.
Entalpi
Ionisasi. Salah satu entalpi yang akan dibahas dalam sub bab ini adalah
entalpi ionisasi. Entalpi tersebut
pada hakekatnya identik dengan potensial ionisasi. Sehingga entalpi ionisasi
dapat didefinisikan sebagai entalpi suatu zat yang setara dengan energi yang
diperlukan untuk mengionisasi atom unsur tersebut dalam keadaan gas. Entalpi
ionisasi lazim disajikan dalam satuan kJ/mol, sedangkan potensial ionisasi
disajikan dalam satuan elektron volt (eV). Sebagai contoh sederhana adalah
ionisasi atom natrium menjadi ion natrium, Na(g) = Na+(g)
+ e-(g) DH° = 502 kJ/mol. Contoh yang lebih jelas
untuk menunjukkan kesetaraan antara entalpi ionisasi dengan potensial ionisasi
adalah ionisasi atom unsur yang dapat
mengalami lebih dari satu tahap ionisasi seperti ionisasi atom Aluminium.
Al(g) = Al+(g) + e-(g) DH° = 577,5 kJ/mol
Al+(g) = Al2+(g)
+ e-(g)
DH° = 1817 kJ/mol
Al2+(g ) =
Al3+(g) + e-(g) DH° = 2745 kJ/mol
Al(g) = Al3+(g) + 3e-(g) DH° = 5140 kJ/mol
Fenomena perubahan nilai entalpi atom aluminium
tersebut identik dengan perubahan nilai potensial ionisasinya. Kecenderungan
perubahan nilai entalpi ionisasi tersebut dapat dijelaskan dengan pendekatan
hukum Coulomb.
Disamping atom, molekul-molekul juga
memiliki entalpi ionisasi, sebagai contoh : NO(g) = NO+(g)
+ e-(g) DH° = 890,7
kJ/mol. Berdasarkan beberapa contoh yang telah disajikan di atas terlihat bahwa
nilai entalpi pengion atom atau molekul selalu bernilai positif karena untuk
melepaskan elektron dari atom atau molekul memerlukan energi.
Entalpi Penangkapan Elektron. Entalpi penangkapan
elektron identik dengan afinitas elektron atom. Perhatikan beberapa contoh
proses berikut ini :
Cl(g) + e-(g)
= Cl-(g) DH° = -349
kJ/mol
O(g) + e-(g)
= O-(g) DH° = -142
kJ/mol
O-(g)
+ e-(g) = O2-(g) DH° = 844
kJ/mol
Entalpi penangkapan
elektron atom Cl bernilai negatif artinya pada proses tersebut terjadi
pelepasan energi. Demikian pula pembentukan ion O-, tetapi pada
pembentukan O2- DH° bernilai positif yang
berarti bahwa dalam proses tersebut terjadi penyerapan energi. Hal ini dapat
dipahami karena ion O- telah bermuatan negatif sehingga ion tersebut
cenderung tolak menolak dengan elektron yang ditangkap.
3.
Energi Internal (U).
Energi internal pada hakekatnya merupakan
energi total yang dimiliki oleh suatu materi, yaitu berupa energi inti, energi
elektronik, energi vibrasi, energi rotasi dan energi translasi.
U = Uinti + Uelektronik
+ Uvibrasi + Urotasi + Utranslasi (1.2)
Energi inti adalah energi yang mengikat proton dan
elektron dalam inti, dan memiliki kisaran yang sangat besar dalam MeV (1 eV =
23,06 kkal/mol). Energi elektronik adalah energi yang mengikat elektron dan
memiliki kisaran yang cukup besar yaitu ratusan kkal/mol. Energi vibrasi adalah
energi yang timbul akibat vibrasi molekul dan memiliki kisaran yang tidak terlalu
besar yaitu dalam puluhan kal/mol. Energi rotasi adalah energi yang timbul
karena rotasi molekul dan memiliki kisaran yang kecil yaitu dalam skala
beberapa kalori. Energi translasi adalah energi yang timbul akibat translasi
molekul dan memiliki kisaran yang sangat kecil yaitu hanya beberapa kalori.
Dalam kebanyakan reaksi kimia, unsur yang terlibat dalam reaksi kimia mengalami
perubahan konfigurasi elektronik. Dengan demikian, Energi yang mengalami
perubahan pada saat terjadi reaksi hanya sampai pada energi elektronik,
sedangkan energi inti tidak mengalami perubahan.
Menurut
hukum termodinamika pertama (Hukum kekekalan energi) bahwa Jika suatu sistem
diberikan energi sebesar dQ maka sebagaian energi tersebut akan digunakan untuk
meningkatkan energi internal sebesar Uo + dU dan sebagian yang lain
akan digunakan oleh sistem tersebut untuk melakukan kerja sebesar dW.
4.
Energi Ikatan
Energi ikatan merupakan rata-rata energi
disosiasi atau dapat dikatakan pula sebagai energi atomisasi. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada contoh berikut.
HF(g) = H(g)
+ F(g) DH° = 566
kJ/mol
Energi tersebut merupakan energi yang diperlukan
untuk memecahkan ikatan H-F. Energi inilah yang disebut sebagai energi ikatan
H-F. Kebalikan dari reaksi tersebut adalah reaksi pembentukan ikatan H-F dimana
pada proses tersebut terjadi pelepasan energi yang besarnya setara dengan
energi yang diperlukan untuk memecahkan ikatan H-F tetapi DH°nya bernilai negatif (DH° = -566 kJ/mol). Jadi secara umum dapat
dinyatakan bahwa jika dalam suatu proses terjadi pemutusan ikatan maka dalam
proses tersebut terjadi reaksi endotermis. Sebaliknya jika dalam suatu proses
terjadi pembentukan ikatan maka dalam proses tersebut terjadi reaksi
eksotermis.
Beberapa contoh lain dapat dilihat pada persamaan
reaksi berikut:
H2O(g) = H(g) + OH(g) DH° = 497
kJ/mol (1.3)
OH(g) = H(g) + O(g) DH° = 421
kJ/mol (1.4)
H2O(g) = 2H(g) + O(g) DH° = 918
kJ/mol (1.5)
Persamaan reaksi (1.5) merupakan
penjumlahan dari reaksi (1.3) dan (1.4). Rata –rata energi ikatan O-H dapat
dihitung dari rata-rata DH° pada persamaan reaksi (1.3) dan (1.4).
Rata-rata energi ikatan O-H = (DH°(1) + DH°(2))/2
= (497 + 421)/2 = 459 kJ/mol
Dengan hanya mengetahui nilai rata-rata energi
ikatan, kita tidak dapat menduga entalpi sesungguhnya pada proses pemecahan
ikatan maupun pembentukan ikatan. Tetapi dengan mengetahui nilai rata-rata
energi ikatan, kita dapat mengestimasi DH° suatu reaksi yang lain. Sebagai contoh
dapat dilihat pada persamaan reaksi berikut :
NH3(g) = N(g) + 3H(g) DH° = 1172 kJ/mol
Dari persamaan reaksi tersebut, kita dapat
menghitung energi ikatan N-H, EN-H yaitu : DH° = (å energi ikatan pemutusan) - (åenergi ikatan pembentukan). (1.6) 1172 = (3EN-H ) – 0
EN-H =1172/3 = 390,7 kJ/mol, energi
ikatan tersebut dapat digunakan untuk mengestimasi energi ikatan N-N pada
senyawa lain seperti hidrasin, N2H4.
N2H4(g) = 2N(g) + 4H(g) DH° = 1724 kJ/mol
DH° = (å energi ikatan pemutusan) - (åenergi ikatan pembentukan)
1724
= EN-N + 4EN-H
1724 = EN-N + 4
(390,7)
EN-N = 161,2 kJ/mol
Nilai-nilai tersebut selanjutnya dapat digunakan
untuk menentukan DH° reaksi dari pemecahan ikatan triasin, N3H5.
N3H5(g) = 3N(g) + 5H(g) DH° =
?
DH° = (å energi ikatan pemutusan) - (åenergi ikatan pembentukan)
DH° =
2EN-N + 5EN-H
DH° = 2(161,2) + 5 (390,7) = 2275,9 kJ/mol
Jadi energi ikatan dapat
digunakan untuk mengestimasi DH° pemutusan ikatan suatu senyawa. Disamping itu energi ikatan dapat pula
digunakan untuk meramalkan stabilitas senyawa
makin tinggi energi ikatan maka semakin stabil senyawa tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, kita
dapat membuat suatu tabel energi ikatan yang dapat digunakan untuk menghitung
secara cermat entalpi pembentukan molekul dari atom-atom gas penyusunnya untuk
berbagai kasus.
5. Hubungan antara Energi Entalpi, Energi Internal dan Energi ikatan
Kekuatan ikatan suatu molekul ditentukan oleh
energi ikatannya. Energi ikatan timbul akibat adanya energi elektronik, karena
pada prinsipnya dalam reaksi kimia yang mengalami perubahan adalah konfigurasi
elektronik atom unsur yang berikatan.
Perubahan konfigurasi elektron suatu atom akan mengakibatkan perubahan
energi internal sistem tersebut. Energi internal dalam suatu sistem timbul
akibat adanya interaksi internal pada sistem. Hal ini dapat kita dilihat dari
hubungan antara entalpi(H) dan energi internal (U), dimana entalpi merupakan
penjelmaan energi ikatan.
H
= U + PV (1.7)
Dalam skala mikroskopis dapat
diasumsikan bahwa reaksi kimia dapat berlangsung dari reaktan menjadi gas
atomik lalu berubah menjadi produk dalam fasa gas. Sebagai contoh jika atom-atom
A direaksikan dengan atom-atom B maka akan membentuk produk AB.
A + B
A-B
Syarat agar atom-atom A dan B berubah menjadi
produk AB adalah : (i) energi ikatan A-B
harus lebih besar dari energi ikatan A-A dan energi ikatan B-B, (ii) stabilitas
A-B harus lebih besar dari stabilitas A-A dan B-B. Umumnya makin besar energi
ikatan suatu zat makin tinggi stabilitasnya. Apabila kita tinjau proses
penggabungan antar atom reaktan maka reaksi di atas dapat digolongkan sebagai
reaksi asosiasi. Pada reaksi tersebut umumnya terjadi pelepasan energi (DH
bernilai negatif). Oleh karena dalam proses penggabungan antar atom tersebut
terjadi pelepasan energi maka reaksi tersebut dapat pula disebut sebagai reaksi
eksotermis. Profile energinya seperti yang tampak pada Gambar 1.
Kebalikan dari
proses tersebut adalah pemutusan ikatan molekul A-B menjadi atom-atom
penyusunnya. Reaksi seperti ini lazim disebut sebagai reaksi disosiasi. Oleh
karena pemutusan ikatan memerlukan energi maka reaksi tersebut juga dapat
disebut sebagai reaksi endotermis. Profile energinya seperti yang tampak pada
Gambar 2.
Umumnya senyawa-senyawa stabil tingkat
enrginya lebih rendah dibanding dengan senyawa-senyawa yang kurang stabil. Reaksi kimia cenderung berlangsung spontan
kearah tingkat energi yang lebih rendah.
B.
SPONTANITAS REAKSI KIMIA
- Energi Bebas (DG°) sebagai Petunjuk Arah Reaksi
Pada
hakekatnya reaksi kimia merupakan perubahan reaktan menjadi produk. Perubahan
tersebut dapat terjadi jika atom-atom pada reaktan saling bertumbukan satu
dengan yang lain dan menata diri sedemikian rupa hingga atom-atom tersebut berubah
menjadi produk. Tumbukan antar atom dapat terjadi jika : (i) energi tumbukan
antar atom cukup untuk berubah menjadi produk, (ii) atom-atom pada reaktan
harus tertata sedemikian rupa sehingga atom tersebut berubah menjadi produk.
Dengan demikian maka dapat dinyatakan bahwa reaksi kimia tidak lain hanyalah merupakan
pemisahan, penggabungan dan pengaturan kembali atom-atom . Hal ini sejalan
dengan postulat yang dikemukakan oleh Dalton
bahwa pada saat terjadi reaksi, atom-atom yang terlibat dalam reaksi massanya tetap
dan juga sejalan dengan postulat yang dikemukakan oleh Proust bahwa
perbandingan atom-atom yang terlibat dalam reaksi kimia adalah selalu tetap.
Walaupun
kedua syarat ini telah dimiliki oleh atom-atom yang terlibat dalam reaks kimia,
masih ada kemungkinan atom-atom tersebut tidak mengalami reaksi. Dua syarat di
atas masih memerlukan tinjauan dan pendekatan dari sudut pandang yang lain. Jika
kita asumsikan bahwa semua atom yang terlibat dalam reaksi kimia, mula-mula
membentuk atom-atom dalam fasa gas. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah
apakah atom-atom dalam fasa gas tersebut cenderung berada dalam bentuk reaktan
atau dalam bentuk pruduk atau stabil dalam bentuk produk ataukah stabil dalam
bentuk reaktan. Jika atom-atom tersebut
cenderung membentuk produk, maka pada keadaan tersebut terjadi perubahan sistem dari sistem yang kurang
teratur menjadi sistem yang lebih teratur. Ada 2 faktor yang menentukan kecenderungan pemisahan atom-atom reaktan dan penggabungan
atom-atom produk yaitu : (i) kekuatan ikatan (entalpi) dan (ii) Derajat
ketidateraturan (entropi).
Umumnya reaksi kimia cenderung berlangsung
spontan ke arah ikatan yang lebih kuat dan ke arah tingkat keteraturan yang
lebih tinggi. Kedua faktor inilah yang mempengaruhi perubahan kimia yang dapat
ditentukan melalui fungsi termodinamika yang disebut sebagai energi bebas
Gibbss (G). Energi bebas Gibbs didefinisikan sebagai perbedaan antara energi
entalpi (H) dengan energi yang tidak digunakan untuk kerja berupa entropi (S)
pada temperatur absolut (T).
G =
H -
TS (1.8)
Entropi dihitung sebagai perubahan energi
perderajat dengan satuan kal/K.mol atau J/K.mol . Perubahan energi bebas Gibbs
dapat dinyatakan dengan persamaan (1.9).
DG =
DH - TDS (1.9)
Perubahan energi bebas Gibbs (DG) merupakan salah satu besaran termodinamika yang dapat digunakan untuk
meramalkan arah reaksi kimia. Secara termodinamika reaksi kimia cendeung
berlangsung spontan kearah penurunan energi bebas Gibbs (DG < 0). Hal ini akan terjadi jika :
- Energi ikat total produk lebih besar dari energi ikat total reaktan (DH < 0), dan tingkat ketidakteraturan produk lebih tinggi daripada tingkat ketidakteraturan reaktan (DS > 0). Sebagai contoh, pembentukan gas karbon monoksida dari unsur karbon dan gas oksigen.
1/2O2(g) + C(s)
= CO(g) DGo = -137,2 kJ/mol
DHo = -110,5 kJ/mol
TDSo = + 26,7 kJ/mol
- Energi ikat total produk lebih besar daripada energi ikat total reaktan (DH < 0), dan tingkat ketidakteraturan produk lebih rendah daripada tingkat ketidakteraturan reaktan (DS < 0), tetapi DS tidak boleh terlalu kecil untuk membuat TDS melampaui DH. Sebagai contoh, sintesis amonia dalam industri. N2(g) + 3H2(g) = 2NH3(g) DGo = -167, kJ/mol
DHo = - 46,2 kJ/mol
TDSo = - 29,5 kJ/mol
Besaran entropi yang negatif menunjukkan
keteraturan produk yang lebih besar daripada reaktan. Dalam hal ini, produk
hanya mengandung 2 mol molekul bebas dibanding reaktan yang mengandung 4 mol
molekul bebas.
- Energi ikat total produk lebih kecil dari energi ikat total reaktan (DH > 0), dan tingkat ketidakteraturan produk lebih tinggi daripada tingkat ketidakteraturan reaktan (DS > 0), dan TDS > 0. Contoh dari kasus tersebut adalah senyawa yang dilarutkan secara endotermis menghasilkan larutan jenuh yang konsentrasinya lebih dari 1 M misalnya natrium klorida.
NaCl(s) = Na+(aq) + Cl-(aq) DGo
= - 2,7 kJ/mol
DHo = + 1,9 kJ/mol
TDSo = + 4,6 kJ/mol
Perlu dipahami bahwa besaran DGo hanya menyatakan kecenderungan arah reaksi. Arah reaksi
sangat erat kaitannya dengan kesetimbangan kimia. Karena itu DGo tidak menyatakan hasil yang sesungguhnya dalam suatu reaksi
kimia.Untuk memahami hasil yang sesungguhnya dalam suatu reaksi kimia
dipelajari lebih lanjut dalam kinetika kimia.
- Kesetimbangan Reaksi Kimia
Letak
kesetimbangan untuk setiap reaksi kimia, aA + bB + cC + ….. = dD +
eE + fF + …..,pada suhu dan tekanan tertentu
dinyatakan dengan kontanta kesetimbangan, K yang didefinisikan sebagai berikut
:
(1.10)
Pembahasan tentang kesetimbangan dalam bagian ini akan diambil salah satu
contoh spesifik reaksi reversible yaitu pembentukan amonia dari hidrogen dan
nitrogen
3H2(g) + N2(g) ® 2NH3(g) (1.11)
2NH3(g)
® 3H2(g) + N2(g) (1.12)
Jika hidrogen dan nitrogen dicampur dalam suatu wadah pada suhu kamar,
dengan perbandingan volume 3 : 1, maka reaksi tidak akan berlangsung spontan kekanan untuk membentuk amonia. Akan tetapi jika suhu diturunkan dan tekanan
dinaikkan maka reaksi tersebut akan berlangsung spontan kekanan. Hal yang
serupa, untuk reaksi yang kekiri yaitu peruraian amonia menjadi hidrogen dan
nitrogen. Pada suhu kamar, amonia tidak akan spontan terurai menjadi hidrogen
dan nitrogen kecuali jika suhu dinaikkan dan tekanan diturunkan.
Jika hidrogen dan nitrogen dimasukkan
dalam wadah tertutup, maka reaksi (1.12) tidak akan berlangsung karena tidak
ada amonia. Namun dengan berlangsungnya reaksi (1.11) yakni terbentuknya produk
berupa amonia, reaksi (1.12) mula-mula
berjalan lambat karena amonia yang terbentuk pada produk masih relatif
sedikit dan semakin lama laju reaksinya semakin cepat karena jumlah amonia yang
terbentuk semakin banyak. Sebaliknya reaksi (1.11) mula-mula berjalan cepat tetapi
semakin lama laju reaksinya semakin lambat karena jumlah hidrogen dan nitrogen
semakin berkurang. Jadi berkurangnya jumlah hidrogen dan nitrogen akan seiring
dengan bertambahnya jumlah amonia sehingga pada suatu saat akan tercapai
keadaan dimana laju reaksi kekiri sama dengan laju reaksi kekanan. Keadaan ini
disebut sebagai kesetimbangan reaksi
kimia, sehingga kedua persamaan reaksi di atas dapat dituliskan menjadi satu
bentuk persamaan reaksi kesetimbangan sebagai berikut:
3H2(g) + N2(g) = 2NH3(g)
- Hubungan Antara DG° dan K
Salah satu besaran
termodinamika yang memberikan gambaran kecenderungan arah reaksi adalah energi
bebas Gibbs (G). Tinjauan tentang arah reaksi akan dipelajari melalui reaksi
kesetimbangan kimia. Jika zat A bereaksi dengan zat B lalu berkesetimbangan
membentuk C dan D dengan reaksi kesetimbangan sebagai berikut :
aA +
bB = gC + dD
maka akan diperoleh persamaan kesetimbangan
sebagai berikut :
K
= [C] g [D]
d /[A] a [B] b (1.13)
dimana konsentrasi masing-masing zat tersebut menyatakan aktivitas
termodinamikanya. Aktivitas untuk reaksi-reaksi dalam larutan, umumnya
dinyatakan dengan konsentrasi (mol/L) dengan syarat larutan tersebut tidak
terlalu pekat. Untuk reaksi-reaksi
dalam fasa gas, aktivitasnya dinyatakan dengan tekanan (atm). Untuk cairan
murni atau fasa padat, aktivitasnya sama dengan satu.
Secara eksperimen nilai DG° relatif sukar ditentukan. Tetapi dengan
menggunakan hubungan persamaan-persamaan fundamental termodinamika , besaran
tersebut dapat ditentukan. Dengan menggunakan hubungan antara kontanta
kesetimbangan dengan perubahan enrgi bebas Gibbs melalui persamaan DG° = - RT ln K (1.14)
maka secara tidak langsung
kita dapat menentukan nilai DG° baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
Apabila kita melihat hubungan antara K dan DG° seperti pada persamaan (1.14), maka secara
kualitatif dapat dinyatakan bahwa jika K besar maka DG° akan semakin negatif yang berarti bahwa reaksi
cenderung berlangsung spontan ke kanan (kearah produk). Secara kuantitatif DG° dapat ditentukan pula melalui persamaan (1.14), dimana
nilai K dari persamaan (1.14) dapat ditentukan melalui persamaan (1.13).
4. Hubungan Kesetimbangan Reaksi dengan Suhu
Nilai konstanta kesetimbangan bergantung pada suhu.
Kebergantungan tersebut dapat ditentukan melalui persamaan-persamaan
fundamental termodinamika dengan cara mengukur besaran DH° baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
DG° = DH° - TDS° (1.15)
Dari
persamaan (5) dan (6) :
-RT ln K = DH° - TDS°
ln K = -DH°/RT + DS°/R (1.16)
C. PRINSIP ENTROPI
1. Keadaan gas lebih bolehjadi daripada keadaan cair dan keadaan cair
lebih bolehjadi daripada keadaan padat.
Atom-atom dalam molekul gas lebih
independen satu sama lain daripada cair atau padatan sehingga entropi gas lebih
besar daripada entropi cair dan entropi cair lebih besar daripada entropi
padatan.
Proses
pelelehan dan penguapan melibatkan suatu peningkatan entropi. Apabila
dibandingkan antara entropi pelelehan dan entropi penguapan maka perubahan
entropi penguapan(sublimasi) relative lebih tinggi daripada entropi pelelehan.
Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkat ketidakteraturan antara cair dan gas
yang relatif tinggi. Disamping itu, interaksi utama antar molekuler cairan
normal melibatkan gaya
Van der Waals. Entropi cair akan lebih besar jika interaksi antar kutub lebih
kuat atau terjadi jembatan protonik dalam cairan. Beberapa
nilai entropi zat dalam berbagai fasa pada suhu 25 oC disajikan
dalam Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Nilai
entropi zat dalam berbagai fasa pada suhu 25 oC (kal/der.mol)
Zat
|
Padat
|
Cair
|
Gas
|
Na
|
12,3
|
13,83
|
36,71
|
P
|
9,82
|
10,28,
|
38,98
|
Si
|
4,43
|
11,21
|
40,12
|
Pb
|
15,50
|
17,14
|
41,89
|
H2O
|
-
|
16,72
|
45,11
|
CH3OH
|
-
|
30,30
|
56,80
|
SiO2
|
10,00
|
11,35
|
54,62
|
Li2O
|
8,98
|
9,86
|
56,03
|
BeO
|
3,38
|
10,50
|
47,21
|
TiO2
|
12,01
|
15,43
|
56,44
|
PbO
|
15,59
|
20,55
|
57,35
|
BCl3
|
45,30
|
-
|
85,30
|
NaCl
|
17,33
|
30,22
|
54,88
|
HgBr2
|
40,71
|
46,80
|
76,51
|
2. Gas-gas monoatomik lebihboleh jadi
daripada gas poliatomik oleh karena itu gas-gas monoatomik cenderung memiliki
entropi yang lebih tinggi daripada gas-gas poliatomik.
Gas-gas monoatomik memiliki
derajatketidak teraturan yang lebih tinggi daripada gas-gas poliatomik.
Pembentukan molekul poliatomik dengan struktur yang pasti dan tertentu akan
meningkatkan keteraturan molekul poliatomik sehingga akan menurunkan entropi
molekul poliatomik. beberapa nilai entropi gas monoatomik dan poliatomik
disajikan dalam Tabel 1.2.
Tabel 1.2 Beberapa nilai entropi gas monoatomik
dan poliatomik (kal/der.mol)
Gas monoatomik
|
Entropi
|
Gas poliatomik
|
Entropi
|
H
|
27,4
|
H2
|
15,6
|
N
|
36,6
|
N2
|
22,9
|
O
|
38,5
|
O2
|
25,5
|
F
|
37,9
|
F2
|
24,4
|
Si
|
40,1
|
Si2
|
17,5
|
P
|
39,0
|
P2
|
26,1
|
S
|
40,1
|
S2
|
27,3
|
Cl
|
39,5
|
Cl2
|
26,6
|
- Padatan amorf lebih bolehjadi daripada padatan kristal sederhana dan padatan kristal sedrhana lebih boleh jadi daripada padatan kristal kompleks.
- Senyawa molekuler adisi atau senyawa kompleks koordinasi kurang boleh jadi daripada komponen-komponen penyusunnya. Contoh [K2SO4.Al2(SO4)3] komponen-komponen penysunnya adalah K2SO4SO dan Al2(SO4)3.
- Senyawa-senyawa yang tersusun dari unsur-unsur dengan berat atom yang lebih tinggi cenderung memiliki entropi yang lebih tinggi. Beberapa contoh disajikan dalam Tabel 1.3
- Pada temperatur biasa pengaruh entropi pada arah reaksi umumnya relatif kecil kecuali jika selisih energi ikat total produk dan reaktan relatif kecil.
- Semua reaksi kimia yang melibatkan kenaikan entropi akan berlangsung secara spontan pada temperatur yang cukup tinggi.
Tabel 1.3 Pengaruh massa terhadap entropi
gas pada suhu 25oC (kal/der.mol)
X
|
F
|
Cl
|
Br
|
I
|
HX
|
41,51
|
44,65
|
-
|
-
|
NaX
|
51,70
|
54,88
|
-
|
-
|
MgX2
|
55,89
|
61,50
|
-
|
-
|
PbX2
|
69,35
|
76,63
|
82,43
|
85,91
|
BX3
|
60,71
|
69,32
|
-
|
-
|
ZrX4
|
76,95
|
87,37
|
98,78
|
108,42
|
NOX
|
59,27
|
-
|
65,38
|
67,67
|
D.
KINETIKA REAKSI
Pada bagian
ini akan diuraikan pengantar kenetika yang meliputi: laju reaksi kimia (r) dan
hukum laju reaksi, pengaruh suhu pada laju reaksi kimia serta peranan katalis
dalam reaksi kimia
Laju reaksi
bergantung pada beberapa faktor antara lain suhu, konsentrasi, tekanan dan
katalis. Pembahsan pada bagian ini akan dibatasi pada pengaruh suhu dan peranan
katalis dalam reaksi kimia.
1. Laju (r) dan Hukum Laju Reaksi Kimia
Laju reaksi . Laju reaksi adalah perubahan konsentrasi
zat-zat dalam reaksi kimia tiap satuan waktu. Jika suatu reaksi, aA + bB ® gC + dD, maka persamaan laju reaksinya dapat
dinyatakan sebagai berikut :
r = -1/a
d[A]/dt = -1/b d[B]/dt = + 1/g d[C]/dt = +
1/d d[D]/dt (1.17)
Hukum Laju. Hukum laju merupakan suatu persamaan aljabar yang
ditentukan secara eksperimen. Secara
umum hukium laju dapat dinyatakan sebagai berikut :
r = k [A]m [B]n (1.18)
dengan k = konstanta laju reaksi
m =
orde reaksi A
n = orde reaksi B
m + n = orde
reaksi
Dari persamaan (1.17) dan (1.18) kita
dapat menentukan persamaan hukum laju orde reaksi ke-n komponen tunggal reaksi
ireversibel dapat dijabarkan dengan metode integrasi.
-
Orde reaksi ke-nol (n = 0)
aA ® Produk
r = -1/a d[A]/dt = k[A]n
untuk n = 0
-1/a d[A]/dt = k[A]0
-1/a d[A]/dt = k
1/a d[A] = kdt
d[A] = -akdt (1.19)
Jika persamaan (1.19) integralkan maka :
òd[A]
= -ak òdt , pada t = 0; [A] = Ao
dan t = t; [A] = At
sehingga akan diperoleh :
A = -akt + Ao (1.20)
Hal yang serupa dapat dijabarkan untuk orde reaksi yang lain.
2. Pengaruh suhu pada Laju Reaksi
Kecepatan reaksi kimia akan bertambah dengan naiknya
suhu. Kenaikan suhu pada suatu reaksi kimia akan meningktkatkan vibrasi molekul
yang terlibat dalam reaksi. Jika vibrasi meningkat maka frekuensi tumbukan
antar molekul, juga akan meningkat sehingga laju reaksi akan semakin besar.
Ada
2 (dua) teori yang digunakan untuk menjelaskan kebergantungan laju reaksi pada
suhu.
1.
Teori Arrhenius
dlnk/dT = Ea/RT2 (1.21)
jika persamaan (1.21) diintegralkan
akan diperoleh:
ln k = -
Ea/RT + ln A (1.22)
dengan k = konstanta laju
reaksi
Ea = energi aktivasi
A = konstanta Arrhenius
T = suhu (K)
R = konstanta gas
Pada suhu tertentu, makin
tinggi energi aktivasi maka makin lambat reaksi yang berlangsung. Dengan
membuat kurva log k terhadap T nilai Ea dan A dapat ditentukan.
2. Teori Laju Reaksi Absolut
Pada dasarnya teori ini mmenyatakan bahwa
pada tahap penentu kecepatan reaksi, zat-zat reaktan, A dan B bergabung secara
reversibel membentuk suatu kompleks teraktivasi, AB* yang
selanjutnya terdekomposisi menjadi produk. A + B = AB* ® Produk. Konstanta kesetimbangan semu untuk kompleks teraktivasi tersebut
dapat dituliskan sebagai berikut :
K* = [AB*]/[A] [B] (1.23)
Kompleks teraktivasi, AB*
diasumsikan sebagai molekul biasa kecuali bahwa salah satu vibrasinya mempunyai
gaya yang relatif kecil dan bersifat ireversibel. Frekuensi pada saat
terjadinya disosiasi kompleks teraktivasi, AB* menjadi produk akan
menimbulkan energi sebesar hu. Energi
tersebut diasumsikan setara dengan energi panas, kT yang dapat
dijabarkan dengan persamaan-persamaan berikut :
HAL
8
3. Peranan katalis dalam Reaksi Kimia
Katalis adalah suatu zat yang mengakibatkan
reaksi lebih cepat mencapai kesetimbangan. Katalis tidak akan mengubah nilai
tetapan kesetimbangan. menurut terori kecepatan rekasi absolut, peranan katalis
adalah menurunkan energi bebas pengaktifan,
DG*. Katalis dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yaitu : (i) katalis
homogen dan (ii) katalis heterogen. Salah satu contoh katalis homogen
adalah katalisasi asam pada dekomposisi asam formiat. Pada proses tersebut asam
kuat ditambahkan pada larutan asam fomiat.
profil energinya lihat diCotton !!!!!!!!!
Salah
satu contoh katalis heterogen adalah hidrogenasi olefin. Jika olefin
dihidrogenasi pada suhu kamar, maka reaksi akan berjalan lambat.
RCH=CH2 + H2 ® RCH2CH3
Jika reaksi tersebut berlangsung pada temperatur
yang tinggi, diharapkan reaksi akan berjalan cepat. Akan tetapi untuk
hidrogenasi olefin jika dikerjakan pada suhu yang tinggi akan mengalami
beberapa kendala antara lain : kesulitan mengatur suhu dan juga akan muncul
produk lain yang tidak diharapkan. Karena itu, untuk mengatasi kendala tersebut, kedalam reaksi tersebut perlu
ditambahkan suatu katalis platinum dengan menggunakan padatan pendukung berupa
alumina atau silika.
Mekanismenya Cari diCotton !!!!!!!!!!
E. POTENSIAL SEL DAN ELEKTRODA
1.
Pengertian Potensial Sel dan Elektroda
Secara termodinamika arah dan batasan reaksi
ditunjukkan oleh besaran DG°,
tetapi dalam prakteknya tidak mudah untuk mengukur besaran tersebut. Umumnya DG° dapat ditentukan melalui
reaksi redoks dengan cara menghitung perbedaan potensial antara dua elektroda, DE
(dalam volt). Nilai DE
tersebut dapat dihubungkan dengan DG°
melalui persamaan-persamaan berikut :
(1.24)
DE°
disebut potensial standar, n adalah jumlah electron seperti yang tertulis dalam
reaksi redoks ,F adalah konstanta Faraday, 96.500 coulomb dan Q adalah ungkapan
persamaan aljabar reaksi yang identik dengan konstanta kesetimbangan reaksi
kimia.
Jika konsentarsi masing- masing zat dalam rekatan
dan produk sama dengan satu maka ln Q = ln 1 = 0. Dengan demikian maka nilai DE
akan sama dengan nilai DE°.
Contoh :
Zn(s)
+ 2H+(aq) Zn2+(aq) + H2(g)
Q = aH2 . aZn2+/aZn
. (aH+)2 (1.25)
Mengingat
aktivitas Zn = 1 (aktivitas padatan = 1) maka persamaan diatas menjadi :
Q = aH2 . aZn2+/(aH+)2 (1.26)
Jika reaksi redoks di atas tetap berlangsung
hingga reaksi mencapai keadaan kesetimbangan maka nilai numerik Q akan sama dengan
konstanta kesetimbangan K dan jika reaksi tersebut telah mencapai kesetimbangan
maka dalam reaksi tersebut tidak ada lagi kecenderungan perpindahan elektron
dari elektroda yang satu ke elektroda yang lain. Secara matematis pernyataan
ini dapat dinyatakan bahwa Q = K dan DE = 0 sehingga persamaan (1.24)
menjadi :
(1.27)
Mengingat : maka
(1.28)
dari persamaan
(1.27) dan (1.28) akan diperoleh
(1.29)
Nilai reaksi dari serangkaian reaksi kimia dapat diperoleh melalui
penjumlahan aljabar serangkaian reaksi. Berdasarkan persamaan (1.29) maka
nilai reaksi juga dapat
diperoleh dengan cara yang identik dengan nilai reaksi. Namun perlu diingat bahwa dalam penjumlahan aljabar
serangkaian reaksi dalam penentuan nilai reaksi, ada faktor n
dan F. Jika dalam suatu reaksi redoks
nilai n pada reaksi oksidasi sama
dengan nilai n pada reaksi reduksi
maka dalam penentuan reaksi, nilai n tersebut dapat diabaikan . Mengingat F adalah suatu konstanta maka faktor tersebut
juga dapat diabaikan. Sebagai contoh dapat dilihat pada reaksi berikut :
(n
= 2) Zn(s) + 2H+(aq) Zn2+(aq) + H2(g) nF= +0,763 V
(n = 2) 2Cr3+(aq)
+ H2(g) 2Cr2+(aq) + 2H+(aq) nF= -0,408 V
(n
= 2) Zn(s) + 2Cr3+(aq)
Zn2+(aq) + 2Cr2+(aq) nF= +0,355 V
Reaksi
ketiga diperoleh dari penjumlahan aljabar reaksi pertama dan kedua, sehingga
diperoleh persamaan :
nF+ nF= nF (1.30)
Pada
reaksi di atas, nilai n = 2 sehingga
diperoleh :
2F+ 2F= 2F
2F(+ ) = 2F
+ = (1.31)
2.
Tanda nilai
Secara
fisik, tidak ada cara yang absolut untuk memakai tanda aljabar dalam pengukuran
nilai . Untuk itu harus
dibuat suatu perjanjian, seperti digambarkan di atas, bahwa tanda-tanda
tersebut adalah kebalikan satu dengan lainnya. Pada reaksi kimia berimbang yang
sebenarnya, perjanjian tanda untuk nilai ditentukan dengan persamaan (1.29). Nilai merupakan besaran termodinamika yang dapat dijadikan
rujukan untuk menentukan spontanitas reaksi kimia. Makin negatif nilai maka reaksi tersebut semakin spontan. Dari persamaan (1.29) dapat dinyatakan bahwa jika makin negatif maka akan semakin positif
. Dengan demikian maka kesetimbangan reaksi cenderung bergeser kearah
produk. Oleh karena itu untuk reaksi-reaksi yang memiliki nilai yang positif akan cenderung berlansung spontan seperti
reduksi Cr3+ menjadi Cr2+ oleh logam Zn, (= +0,355 V).
3.
Setengah Sel dan Potensial Setengah Sel
(Elektroda)
Setiap reaksi kesetimbangan dalam reaksi
redoks, dapat dituliskan secara terpisah dalam dua ˝ setengah reaksi˝ .
Sehubungan dengan itu, setiap sel elektrokimia dapat dipisahkan menjadi dua
setengah sel hipotesis. Potensial sel sesungguhnya, dapat diasumsikan sebagai jumlah aljabar dari dua
potensial setengah sel. Menurut IUPAC potensial setengah sel dan potensial
elektroda dituliskan dalam bentuk reduksi dan dalam bentuk potensial setengah
sel atau potensial elektroda. Ketentuan ini akan lebih mudah dihafal dengan
menandai bahwa reaksi setengah sel dengan potensial negatif adalah kaya akan
elektron. Bila dua buah setengah sel digabungkan menghasilkan sel elektrolitik
sempurna, maka elektroda yang mempunyai potensial standar setengah sel yang
lebih negatif akan menjadi elektroda negatif secara fisik.
Dalam
ketiga reaksi di atas terdapat tiga setengah reaksi
Pertama : Reaksi antara Zn dan H+(aq)
Zn(s) Zn2+(aq)
) + 2e- = +0,763 V
2H+(aq) + 2e-
H2(g) = 0,000 V
Zn(s) + 2H+(aq)
Zn2+(aq) + H2(g) = +0,763 V
Kedua : Reaksi antara Cr2+(aq)
dan H+(aq)
Cr3+(aq) + e- Cr2+(aq) (x2)
H2(g) 2H+(aq) + 2e- (x1)
2Cr3+(aq)
+ 2e- 2Cr2+(aq) = -0,408 V
H2(g)
2H+(aq) + 2e- = 0,000 V
2Cr3+(aq)
+ H2(g) 2Cr2+(aq) + 2H+(aq) = -0,408 V
Ketiga : Reaksi
antara Cr3+(aq)
oleh Zn(s)
Zn(s) Zn2+(aq)
) + 2e- = +0,763 V
2Cr3+(aq) + 2e- 2Cr2+(aq) = -0,408 V
Zn(s) + 2Cr3+(aq)
Zn2+(aq) + 2Cr2+(aq) = +0,355 V
Secara aljabar,
potensial sel dari ketiga reaksi di atas dapat dituliskan sebagai berikut:
2 + 2 = 2
2( + ) = 2
+ =
Jika
dalam suatu reaksi redoks nilai n pada
reaksi oksidasi tidak sama dengan nilai n
pada reaksi reduksi maka dalam penentuan reaksi, nilai n tersebut tidak dapat diabaikan. Sebagai contoh
dapat dilihat apada reaksi berikut :
Cl- + 3H2O ClO3- + 6H+ + 6e- = -1,45V 6= -8,70V
e- + 1/2Cl2 Cl- = +1,36V 1= +1,36V
1/2Cl2 + 3H2O ClO3- + 6H+ + 5e- 5= -7,34V
Hubungan yang
benar adalah : + = jadi + ≠ .
cuma satu postingannya?
BalasHapusmakasih ya ilmunya. sangat bermanfaat
BalasHapussip
BalasHapus