Gajah lompat

Kamis, 07 Juni 2012

Prinsip Reaksi Kimia



BAB 1 . PRINSIP REAKSI KIMIA
A.    ENERGI
  1. Pengertian Energi
Pada tahun 1900 Max Plank mengemukakan suatu ide yang bersifat revolusioner bahwa energi suatu osilator bersifat diskontinyu dan pada osilator tersebut terjadi perubahan energi. Perubahan tersebut sebagai akibat dari adanya dua tingkat energi yang berbeda dari sistem tersebut.
Energi merupakan akibat dari hasil interaksi antar partikel dalam materi.

2. Energi Entalpi (H)
Keadaan standar suatu zat adalah fase dimana zat tersebut berada pada suhu 25°C (298,15K) dan tekanan 1 atmosfir serta zat-zat diasumsikan berada dalam fase larutan pada konsentrasi 1 mol/L.
Fakta menunjukkan bahwa semua perubahan fisika dan kimia selalu disertai dengan pelepasan atau penyerapan energi. Umumnya energi tersebut dalam bentuk panas. Pelepasan atau peneyerapan panas akan mengakibatkan perubahan kandungan panas senyawa yang terlibat dalam proses tersebut. Kandungan panas tersebut dinamakan entalpi yang diberi simbol H, perubahan kandungan panas disebut perubahan entalpi yang diberi simbol DH.
DH = (H produk) - (H reaktan)                                                           (1.1)
Jika produk dan reaktan berada dalam keadaan standar maka perubahan entalpi standar dinyatakan dengan DH°, yakni perubahan entalpi standar dari proses. Misalnya pembentukan H2O dari H2 dan O2 pada keadaan standar (STP).
           H2 (g)  + ½ O2 (g)  =  H2O (g)          DH° = -285,7 kJ/mol.                       
Untuk maksud termokimia, kandungan panas dari semua unsur dalam keadaan standar dapat diasumsikan sama dengan nol.
Pada persamaan di atas, DH° bernilai negatif artinya kandungan panas H2O(g) lebih rendah dari kandungan panas H2 (g)  dan O2 (g). Hal ini berati bahwa dalam proses tersebut terjadi pelepasan panas. Secara umum dapat dinyatakan :
Jika DH° < 0, maka kandungan panas produk lebih kecil dari kandungan panas reaktan (H  produk < H reaktan). Hal ini berarti bahwa dalam proses tersebut terjadi pelepasan panas. Suatu reaksi kimia yang melibatkan pelepasan panas disebut reaksi eksotermis. Sebaliknya, jika DH° > 0, maka kandungan panas produk lebih besar dari kandungan panas reaktan (H  produk > H reaktan). Hal ini berati bahwa dalam proses tersebut terjadi penyerapan panas. Reaksi kimia yang melibatkan penyerapan panas disebut reaksi endotermis.
            Perubahan entalpi standar untuk semua reaksi dapat ditentukan jika panas pembentukan standar (DH°f) dari setiap reaktan dan produk diketahui. Nilai DH°f suatu zat merupakan nilai DH untuk proses dimana zat itu terbentuk dari unsur-unsurnya dalam keadaan standar. Contoh :  H2 (g)  + ½ O2 (g)  =  H2O (g)    DH° = -285,7 kJ/mol. Nilai DH° tersebut pada hakekatnya merupakan DH°f  untuk air. Jadi harga DH° untuk reaksi tersebut dapat dihitung dari nilai DH°f dengan alasan bahwa persamaan-persamaan reaksi untuk DH°f akan selalu dijumlahkan pada persamaan yang dikehendaki dan mengandung unsur-unsurnya kecuali untuk spesies-spesies yang muncul dalam persamaan akhir, sedangkan spesies-spesies yang lain akan tereliminir. Misalnya pada persamaan reaksi berikut :
            LiAlH4(s) + 4H2O(l)  =  LiOH(s) + Al(OH)3(s) + 4H2(g)
Reaksi ini dapat diperoleh melalui tahapan-tahapan berikut :
                                    LiAlH4(s) = Li(s) + Al(s) + 2H2(g)            - DH°f  = 117,2 kJ/mol
                                     4H2O(l)   = 4H2(g) + 2O2(g)                 - 4DH°f    = 1143,0 kJ/mol
           Li(s) + 1/2O2(g) + 1/2H2(g) =  LiOH(s)                                 DH°f  = - 487,0 kJ/mol 
         Al(s) + 3/2O2(g) + 3/2H2(g)   = Al(OH)3(s)                           DH°f    = -1272,8 kJ/mol


 
                  LiAlH4(s) + 4H2O(l)  =  LiOH(s) + Al(OH)3(s) + 4H2(g) DH° = - 734,0 kJ/mol
Dari tahapan-tahapan reaksi di atas dapat dilihat bahwa nilai DH° reaksi         LiAlH4(s) + 4H2O(l)  =  LiOH(s) + Al(OH)3(s) + 4H2(g) merupakan jumlah total dari DH°f produk dikurangi DH°f reaktan atau  DH° = (å DH°f produk) - (å DH°f reaktan).
Hal yang identik juga dapat diterapkan pada perubahan energi bebas, DG yang akan diuraikan secara singkat pada pembahasan selanjutnya.
Disamping pembentukan senyawa dari unsur-unsurnya, ada beberapa proses fisika dan kimia yang memerlukan nilai-nilai DH° atau DH. Diantaranya terdapat proses pelelehan (peleburan), dan penguapan atau sublimasi. Perubahan-perubahan entalpi seperti ini disebut perubahan entalpi spesifik.
Entalpi Ionisasi. Salah satu entalpi yang akan dibahas dalam sub bab ini adalah entalpi ionisasi. Entalpi tersebut pada hakekatnya identik dengan potensial ionisasi. Sehingga entalpi ionisasi dapat didefinisikan sebagai entalpi suatu zat yang setara dengan energi yang diperlukan untuk mengionisasi atom unsur tersebut dalam keadaan gas. Entalpi ionisasi lazim disajikan dalam satuan kJ/mol, sedangkan potensial ionisasi disajikan dalam satuan elektron volt (eV). Sebagai contoh sederhana adalah ionisasi atom natrium menjadi ion natrium, Na(g)­  =  Na+(g) + e-(g)  DH° = 502 kJ/mol. Contoh yang lebih jelas untuk menunjukkan kesetaraan antara entalpi ionisasi dengan potensial ionisasi adalah  ionisasi atom unsur yang dapat mengalami lebih dari satu tahap ionisasi seperti ionisasi atom Aluminium.
            Al(g)  =  Al+(g)  +  e-(g)             DH° = 577,5 kJ/mol
           Al+(g)  =  Al2+(g) + e-(g)             DH° = 1817 kJ/mol
         Al2+(g )  =  Al3+(g)  + e-(g)             DH° = 2745 kJ/mol


 
              Al(g) = Al3+(g)  + 3e-(g)          DH° = 5140 kJ/mol

Fenomena perubahan nilai entalpi atom aluminium tersebut identik dengan perubahan nilai potensial ionisasinya. Kecenderungan perubahan nilai entalpi ionisasi tersebut dapat dijelaskan dengan pendekatan hukum Coulomb.
Disamping atom, molekul-molekul juga memiliki entalpi ionisasi, sebagai contoh : NO(g)  =  NO+(g) +  e-(g)     DH° = 890,7 kJ/mol. Berdasarkan beberapa contoh yang telah disajikan di atas terlihat bahwa nilai entalpi pengion atom atau molekul selalu bernilai positif karena untuk melepaskan elektron dari atom atau molekul memerlukan energi.
Entalpi Penangkapan Elektron. Entalpi penangkapan elektron identik dengan afinitas elektron atom. Perhatikan beberapa contoh proses berikut ini :
            Cl(g) + e-(g) = Cl-(g)                     DH° = -349 kJ/mol
            O(g) + e-(g) = O-(g)                      DH° = -142 kJ/mol
            O-(g) + e-(g) = O2-(g)                    DH° = 844 kJ/mol
Entalpi penangkapan elektron atom Cl bernilai negatif artinya pada proses tersebut terjadi pelepasan energi. Demikian pula pembentukan ion O-, tetapi pada pembentukan O2- DH° bernilai positif yang berarti bahwa dalam proses tersebut terjadi penyerapan energi. Hal ini dapat dipahami karena ion O- telah bermuatan negatif sehingga ion tersebut cenderung tolak menolak dengan elektron yang ditangkap.
3.      Energi Internal (U).

Energi internal pada hakekatnya merupakan energi total yang dimiliki oleh suatu materi, yaitu berupa energi inti, energi elektronik, energi vibrasi, energi rotasi dan energi translasi.
U = Uinti + Uelektronik + Uvibrasi + Urotasi + Utranslasi                                              (1.2)
Energi inti adalah energi yang mengikat proton dan elektron dalam inti, dan memiliki kisaran yang sangat besar dalam MeV (1 eV = 23,06 kkal/mol). Energi elektronik adalah energi yang mengikat elektron dan memiliki kisaran yang cukup besar yaitu ratusan kkal/mol. Energi vibrasi adalah energi yang timbul akibat vibrasi molekul dan memiliki kisaran yang tidak terlalu besar yaitu dalam puluhan kal/mol. Energi rotasi adalah energi yang timbul karena rotasi molekul dan memiliki kisaran yang kecil yaitu dalam skala beberapa kalori. Energi translasi adalah energi yang timbul akibat translasi molekul dan memiliki kisaran yang sangat kecil yaitu hanya beberapa kalori. Dalam kebanyakan reaksi kimia, unsur yang terlibat dalam reaksi kimia mengalami perubahan konfigurasi elektronik. Dengan demikian, Energi yang mengalami perubahan pada saat terjadi reaksi hanya sampai pada energi elektronik, sedangkan energi inti tidak mengalami perubahan.
            Menurut hukum termodinamika pertama (Hukum kekekalan energi) bahwa Jika suatu sistem diberikan energi sebesar dQ maka sebagaian energi tersebut akan digunakan untuk meningkatkan energi internal sebesar Uo + dU dan sebagian yang lain akan digunakan oleh sistem tersebut untuk melakukan kerja sebesar dW.


 




4.      Energi Ikatan
Energi ikatan merupakan rata-rata energi disosiasi atau dapat dikatakan pula sebagai energi atomisasi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada contoh berikut.
HF(g)   =   H(g) + F(g)    DH° = 566 kJ/mol      
Energi tersebut merupakan energi yang diperlukan untuk memecahkan ikatan H-F. Energi inilah yang disebut sebagai energi ikatan H-F. Kebalikan dari reaksi tersebut adalah reaksi pembentukan ikatan H-F dimana pada proses tersebut terjadi pelepasan energi yang besarnya setara dengan energi yang diperlukan untuk memecahkan ikatan H-F tetapi DH°nya bernilai negatif (DH° = -566 kJ/mol). Jadi secara umum dapat dinyatakan bahwa jika dalam suatu proses terjadi pemutusan ikatan maka dalam proses tersebut terjadi reaksi endotermis. Sebaliknya jika dalam suatu proses terjadi pembentukan ikatan maka dalam proses tersebut terjadi reaksi eksotermis.
Beberapa contoh lain dapat dilihat pada persamaan reaksi berikut:
H2O(g)   =  H(g)  +  OH(g)                      DH° = 497 kJ/mol                     (1.3)
OH(g)     =  H(g)  +  O(g)                        DH° = 421 kJ/mol                      (1.4)          


 
H2O(g)   =  2H(g)  +  O(g)                       DH° = 918 kJ/mol                      (1.5)
Persamaan reaksi (1.5) merupakan penjumlahan dari reaksi (1.3) dan (1.4). Rata –rata energi ikatan O-H dapat dihitung dari rata-rata DH° pada persamaan reaksi (1.3) dan (1.4).
Rata-rata energi ikatan O-H = (DH°(1)  +  DH°(2))/2 
                                               = (497 + 421)/2 = 459 kJ/mol
Dengan hanya mengetahui nilai rata-rata energi ikatan, kita tidak dapat menduga entalpi sesungguhnya pada proses pemecahan ikatan maupun pembentukan ikatan. Tetapi dengan mengetahui nilai rata-rata energi ikatan, kita dapat mengestimasi  DH° suatu reaksi yang lain. Sebagai contoh dapat dilihat pada persamaan reaksi berikut :
            NH3(g)  =  N(g)  + 3H(g)             DH° = 1172 kJ/mol
Dari persamaan reaksi tersebut, kita dapat menghitung energi ikatan N-H, EN-H yaitu :   DH° = (å energi ikatan pemutusan) - (åenergi ikatan pembentukan).                     (1.6)        1172 = (3EN-H ) – 0
EN-H =1172/3 = 390,7 kJ/mol, energi ikatan tersebut dapat digunakan untuk mengestimasi energi ikatan N-N pada senyawa lain seperti hidrasin, N2H4.
            N2H4(g)  =  2N(g)  +  4H(g)                                 DH° = 1724 kJ/mol
            DH° = (å energi ikatan pemutusan) - (åenergi ikatan pembentukan)
            1724 = EN-N  + 4EN-H
             1724 = EN-N  + 4 (390,7)
              EN-N = 161,2 kJ/mol
Nilai-nilai tersebut selanjutnya dapat digunakan untuk menentukan DH° reaksi dari pemecahan ikatan triasin, N3H5.
            N3H5(g)  =  3N(g)  +  5H(g)                                 DH° =  ?
            DH° = (å energi ikatan pemutusan) - (åenergi ikatan pembentukan)
            DH°  = 2EN-N  + 5EN-H
             DH° = 2(161,2)  + 5 (390,7) = 2275,9 kJ/mol
Jadi energi ikatan dapat digunakan untuk mengestimasi DH° pemutusan ikatan suatu senyawa. Disamping itu energi ikatan dapat pula digunakan untuk meramalkan stabilitas senyawa  makin tinggi energi ikatan maka semakin stabil senyawa tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, kita dapat membuat suatu tabel energi ikatan yang dapat digunakan untuk menghitung secara cermat entalpi pembentukan molekul dari atom-atom gas penyusunnya untuk berbagai kasus.

5. Hubungan antara Energi Entalpi, Energi Internal dan Energi ikatan
 Kekuatan ikatan suatu molekul ditentukan oleh energi ikatannya. Energi ikatan timbul akibat adanya energi elektronik, karena pada prinsipnya dalam reaksi kimia yang mengalami perubahan adalah konfigurasi elektronik atom unsur yang berikatan.  Perubahan konfigurasi elektron suatu atom akan mengakibatkan perubahan energi internal sistem tersebut. Energi internal dalam suatu sistem timbul akibat adanya interaksi internal pada sistem. Hal ini dapat kita dilihat dari hubungan antara entalpi(H) dan energi internal (U), dimana entalpi merupakan penjelmaan energi ikatan.
       H  =  U  + PV                                                                                 (1.7)
Dalam skala mikroskopis dapat diasumsikan bahwa reaksi kimia dapat berlangsung dari reaktan menjadi gas atomik lalu berubah menjadi produk dalam fasa gas. Sebagai contoh jika atom-atom A direaksikan dengan atom-atom B maka akan membentuk produk AB.
     A          +      B                   A-B

                                                          

Syarat agar atom-atom A dan B berubah menjadi produk AB adalah  : (i) energi ikatan A-B harus lebih besar dari energi ikatan A-A dan energi ikatan B-B, (ii) stabilitas A-B harus lebih besar dari stabilitas A-A dan B-B. Umumnya makin besar energi ikatan suatu zat makin tinggi stabilitasnya. Apabila kita tinjau proses penggabungan antar atom reaktan maka reaksi di atas dapat digolongkan sebagai reaksi asosiasi. Pada reaksi tersebut umumnya terjadi pelepasan energi (DH bernilai negatif). Oleh karena dalam proses penggabungan antar atom tersebut terjadi pelepasan energi maka reaksi tersebut dapat pula disebut sebagai reaksi eksotermis. Profile energinya seperti yang tampak pada Gambar 1.

 




                                                                                            
                                                           







Kebalikan dari proses tersebut adalah pemutusan ikatan molekul A-B menjadi atom-atom penyusunnya. Reaksi seperti ini lazim disebut sebagai reaksi disosiasi. Oleh karena pemutusan ikatan memerlukan energi maka reaksi tersebut juga dapat disebut sebagai reaksi endotermis. Profile energinya seperti yang tampak pada Gambar 2.
            Umumnya senyawa-senyawa stabil tingkat enrginya lebih rendah dibanding dengan senyawa-senyawa yang kurang stabil. Reaksi kimia cenderung berlangsung spontan kearah tingkat energi yang lebih rendah.




B.     SPONTANITAS REAKSI KIMIA

  1. Energi Bebas (DG°) sebagai Petunjuk Arah Reaksi
Pada hakekatnya reaksi kimia merupakan perubahan reaktan menjadi produk. Perubahan tersebut dapat terjadi jika atom-atom pada reaktan saling bertumbukan satu dengan yang lain dan menata diri sedemikian rupa hingga atom-atom tersebut berubah menjadi produk. Tumbukan antar atom dapat terjadi jika : (i) energi tumbukan antar atom cukup untuk berubah menjadi produk, (ii) atom-atom pada reaktan harus tertata sedemikian rupa sehingga atom tersebut berubah menjadi produk. Dengan demikian maka dapat dinyatakan bahwa reaksi kimia tidak lain hanyalah merupakan pemisahan, penggabungan dan pengaturan kembali atom-atom . Hal ini sejalan dengan postulat yang dikemukakan oleh Dalton bahwa pada saat terjadi reaksi, atom-atom yang terlibat dalam reaksi massanya tetap dan juga sejalan dengan postulat yang dikemukakan oleh Proust bahwa perbandingan atom-atom yang terlibat dalam reaksi kimia adalah selalu tetap.
Walaupun kedua syarat ini telah dimiliki oleh atom-atom yang terlibat dalam reaks kimia, masih ada kemungkinan atom-atom tersebut tidak mengalami reaksi. Dua syarat di atas masih memerlukan tinjauan dan pendekatan dari sudut pandang yang lain. Jika kita asumsikan bahwa semua atom yang terlibat dalam reaksi kimia, mula-mula membentuk atom-atom dalam fasa gas. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah atom-atom dalam fasa gas tersebut cenderung berada dalam bentuk reaktan atau dalam bentuk pruduk atau stabil dalam bentuk produk ataukah stabil dalam bentuk  reaktan. Jika atom-atom tersebut cenderung membentuk produk, maka pada keadaan tersebut terjadi  perubahan sistem dari sistem yang kurang teratur menjadi sistem yang lebih teratur. Ada 2 faktor yang menentukan kecenderungan pemisahan atom-atom reaktan dan penggabungan atom-atom produk yaitu : (i) kekuatan ikatan (entalpi) dan (ii) Derajat ketidateraturan (entropi).
Umumnya reaksi kimia cenderung berlangsung spontan ke arah ikatan yang lebih kuat dan ke arah tingkat keteraturan yang lebih tinggi. Kedua faktor inilah yang mempengaruhi perubahan kimia yang dapat ditentukan melalui fungsi termodinamika yang disebut sebagai energi bebas Gibbss (G). Energi bebas Gibbs didefinisikan sebagai perbedaan antara energi entalpi (H) dengan energi yang tidak digunakan untuk kerja berupa entropi (S) pada temperatur absolut (T).
G  = H  -  TS                                                                                       (1.8)
Entropi dihitung sebagai perubahan energi perderajat dengan satuan kal/K.mol atau J/K.mol . Perubahan energi bebas Gibbs dapat dinyatakan dengan persamaan (1.9).
DG  =  DH  -  TDS                                                                               (1.9)
Perubahan energi bebas Gibbs (DG) merupakan salah satu besaran termodinamika yang dapat digunakan untuk meramalkan arah reaksi kimia. Secara termodinamika reaksi kimia cendeung berlangsung spontan kearah penurunan energi bebas Gibbs (DG < 0). Hal ini akan terjadi jika :
  1. Energi ikat total produk lebih besar dari energi ikat total reaktan  (DH < 0), dan tingkat ketidakteraturan produk lebih tinggi daripada tingkat ketidakteraturan reaktan (DS > 0). Sebagai contoh, pembentukan gas karbon monoksida dari unsur karbon dan gas oksigen.
1/2O2(g)  +  C(s) =  CO(g)                                   DGo   =  -137,2 kJ/mol
                                                                        DHo  =   -110,5 kJ/mol
                                                                        TDSo =  + 26,7 kJ/mol
  1. Energi ikat total  produk  lebih  besar  daripada  energi  ikat  total  reaktan  (DH < 0), dan tingkat ketidakteraturan produk lebih rendah daripada tingkat ketidakteraturan reaktan (DS < 0), tetapi DS tidak boleh terlalu kecil untuk membuat TDS melampaui DH. Sebagai contoh, sintesis amonia dalam industri.      N2(g)  +  3H2(g) =  2NH3(g)            DGo   =  -167, kJ/mol
                                                                        DHo  =   - 46,2 kJ/mol
                                                                        TDSo =  - 29,5 kJ/mol
Besaran entropi yang negatif menunjukkan keteraturan produk yang lebih besar daripada reaktan. Dalam hal ini, produk hanya mengandung 2 mol molekul bebas dibanding reaktan yang mengandung 4 mol molekul bebas.  
  1. Energi ikat total produk lebih kecil dari energi ikat total reaktan  (DH > 0), dan tingkat ketidakteraturan produk lebih tinggi daripada tingkat ketidakteraturan reaktan (DS > 0), dan TDS > 0. Contoh dari kasus tersebut adalah senyawa yang dilarutkan secara endotermis menghasilkan larutan jenuh yang konsentrasinya lebih dari 1 M misalnya natrium klorida.
      NaCl(s)   =  Na+(aq)  +  Cl-(aq)                             DGo  =  - 2,7 kJ/mol
                                                                        DHo  =   + 1,9 kJ/mol
                                                                        TDSo =  + 4,6 kJ/mol
Perlu dipahami bahwa besaran DGo hanya menyatakan kecenderungan arah reaksi. Arah reaksi sangat erat kaitannya dengan kesetimbangan kimia. Karena itu DGo tidak menyatakan hasil yang sesungguhnya dalam suatu reaksi kimia.Untuk memahami hasil yang sesungguhnya dalam suatu reaksi kimia dipelajari lebih lanjut dalam kinetika kimia.
  1. Kesetimbangan Reaksi Kimia
Letak kesetimbangan untuk setiap reaksi kimia, aA + bB + cC + …..  =      dD  +  eE  + fF  + …..,pada suhu dan tekanan tertentu dinyatakan dengan kontanta kesetimbangan, K yang didefinisikan sebagai berikut :

                                                                                                            (1.10)
Pembahasan tentang kesetimbangan dalam bagian ini akan diambil salah satu contoh spesifik reaksi reversible yaitu pembentukan amonia dari hidrogen dan nitrogen
3H2(g)  +  N2(g)  ®  2NH3(g)                                                                        (1.11)
           2NH3(g)    ®  3H2(g)  +  N2(g)                                                            (1.12)  
Jika hidrogen dan nitrogen dicampur dalam suatu wadah pada suhu kamar, dengan perbandingan volume 3 : 1, maka reaksi tidak akan berlangsung spontan kekanan  untuk membentuk amonia. Akan tetapi jika suhu diturunkan dan tekanan dinaikkan maka reaksi tersebut akan berlangsung spontan kekanan. Hal yang serupa, untuk reaksi yang kekiri yaitu peruraian amonia menjadi hidrogen dan nitrogen. Pada suhu kamar, amonia tidak akan spontan terurai menjadi hidrogen dan nitrogen kecuali jika suhu dinaikkan dan tekanan diturunkan.
Jika hidrogen dan nitrogen dimasukkan dalam wadah tertutup, maka reaksi (1.12) tidak akan berlangsung karena tidak ada amonia. Namun dengan berlangsungnya reaksi (1.11) yakni terbentuknya produk berupa amonia, reaksi (1.12) mula-mula  berjalan lambat karena amonia yang terbentuk pada produk masih relatif sedikit dan semakin lama laju reaksinya semakin cepat karena jumlah amonia yang terbentuk semakin banyak. Sebaliknya reaksi (1.11) mula-mula berjalan cepat tetapi semakin lama laju reaksinya semakin lambat karena jumlah hidrogen dan nitrogen semakin berkurang. Jadi berkurangnya jumlah hidrogen dan nitrogen akan seiring dengan bertambahnya jumlah amonia sehingga pada suatu saat akan tercapai keadaan dimana laju reaksi kekiri sama dengan laju reaksi kekanan. Keadaan ini disebut sebagai kesetimbangan reaksi kimia, sehingga kedua persamaan reaksi di atas dapat dituliskan menjadi satu bentuk persamaan reaksi kesetimbangan sebagai berikut:
                        3H2(g)  +  N2(g)  =  2NH3(g)                                                       
  1. Hubungan Antara DG° dan K
Salah satu besaran termodinamika yang memberikan gambaran kecenderungan arah reaksi adalah energi bebas Gibbs (G). Tinjauan tentang arah reaksi akan dipelajari melalui reaksi kesetimbangan kimia. Jika zat A bereaksi dengan zat B lalu berkesetimbangan membentuk C dan D dengan reaksi kesetimbangan sebagai berikut :
aA +  bB = gC + dD
maka akan diperoleh persamaan kesetimbangan sebagai berikut :
 K  = [C] g [D] d /[A] a [B] b                                                                       (1.13)
dimana konsentrasi masing-masing zat tersebut menyatakan aktivitas termodinamikanya. Aktivitas untuk reaksi-reaksi dalam larutan, umumnya dinyatakan dengan konsentrasi (mol/L) dengan syarat larutan tersebut tidak terlalu pekat. Untuk reaksi-reaksi dalam fasa gas, aktivitasnya dinyatakan dengan tekanan (atm). Untuk cairan murni atau fasa padat, aktivitasnya sama dengan satu.
      Secara eksperimen nilai DG° relatif sukar ditentukan. Tetapi dengan menggunakan hubungan persamaan-persamaan fundamental termodinamika , besaran tersebut dapat ditentukan. Dengan menggunakan hubungan antara kontanta kesetimbangan dengan perubahan enrgi bebas Gibbs melalui persamaan         DG° = - RT ln K                                                                                          (1.14)
maka secara tidak langsung kita dapat menentukan nilai DG° baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Apabila kita melihat hubungan antara K dan DG° seperti pada persamaan (1.14), maka secara kualitatif dapat dinyatakan bahwa jika K besar maka DG° akan semakin negatif yang berarti bahwa reaksi cenderung berlangsung spontan ke kanan (kearah produk). Secara kuantitatif DG° dapat ditentukan pula melalui persamaan (1.14), dimana nilai K dari persamaan (1.14) dapat ditentukan melalui persamaan (1.13).
4. Hubungan Kesetimbangan Reaksi dengan Suhu
Nilai  konstanta kesetimbangan bergantung pada suhu. Kebergantungan tersebut dapat ditentukan melalui persamaan-persamaan fundamental termodinamika dengan cara mengukur besaran DH° baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
DG° = DH° - TDS°                                                                              (1.15)
Dari persamaan (5) dan (6) :
-RT ln K = DH° - TDS°
   ln K = -DH°/RT + DS°/R                                            (1.16)  


C. PRINSIP ENTROPI
1. Keadaan gas lebih bolehjadi daripada keadaan cair dan keadaan cair lebih bolehjadi daripada keadaan padat.
            Atom-atom dalam molekul gas lebih independen satu sama lain daripada cair atau padatan sehingga entropi gas lebih besar daripada entropi cair dan entropi cair lebih besar daripada entropi padatan.
Proses pelelehan dan penguapan melibatkan suatu peningkatan entropi. Apabila dibandingkan antara entropi pelelehan dan entropi penguapan maka perubahan entropi penguapan(sublimasi) relative lebih tinggi daripada entropi pelelehan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkat ketidakteraturan antara cair dan gas yang relatif tinggi. Disamping itu, interaksi utama antar molekuler cairan normal melibatkan gaya Van der Waals. Entropi cair akan lebih besar jika interaksi antar kutub lebih kuat atau terjadi jembatan protonik dalam cairan.  Beberapa nilai entropi zat dalam berbagai fasa pada suhu 25 oC disajikan dalam Tabel 1.1.
Tabel 1.1  Nilai entropi zat dalam berbagai fasa pada suhu 25 oC (kal/der.mol)
Zat
Padat
Cair
Gas
Na
12,3
13,83
36,71
P
9,82
10,28,
38,98
Si
4,43
11,21
40,12
Pb
15,50
17,14
41,89
H2O
-
16,72
45,11
CH3OH
-
30,30
56,80
SiO2
10,00
11,35
54,62
Li2O
8,98
9,86
56,03
BeO
3,38
10,50
47,21
TiO2
12,01
15,43
56,44
PbO
15,59
20,55
57,35
BCl3
45,30
-
85,30
NaCl
17,33
30,22
54,88
HgBr2
40,71
46,80
76,51

2.      Gas-gas monoatomik lebihboleh jadi daripada gas poliatomik oleh karena itu gas-gas monoatomik cenderung memiliki entropi yang lebih tinggi daripada gas-gas poliatomik.
Gas-gas monoatomik memiliki derajatketidak teraturan yang lebih tinggi daripada gas-gas poliatomik. Pembentukan molekul poliatomik dengan struktur yang pasti dan tertentu akan meningkatkan keteraturan molekul poliatomik sehingga akan menurunkan entropi molekul poliatomik. beberapa nilai entropi gas monoatomik dan poliatomik disajikan dalam Tabel 1.2.
Tabel 1.2 Beberapa nilai entropi gas monoatomik dan poliatomik (kal/der.mol)
Gas monoatomik
Entropi
Gas poliatomik
Entropi
H
27,4
H2
15,6
N
36,6
N2
22,9
O
38,5
O2
25,5
F
37,9
F2
24,4
Si
40,1
Si2
17,5
P
39,0
P2
26,1
S
40,1
S2
27,3
Cl
39,5
Cl2
26,6

  1. Padatan amorf lebih bolehjadi daripada padatan kristal sederhana dan padatan kristal sedrhana lebih boleh jadi daripada padatan kristal kompleks.
  2. Senyawa molekuler adisi atau senyawa kompleks koordinasi kurang boleh jadi daripada komponen-komponen penyusunnya. Contoh [K2SO4.Al2(SO4)3] komponen-komponen penysunnya adalah K2SO4SO dan Al2(SO4)3.
  3. Senyawa-senyawa yang tersusun dari unsur-unsur dengan berat atom yang lebih tinggi cenderung memiliki entropi yang lebih tinggi. Beberapa contoh disajikan dalam Tabel 1.3
  4. Pada  temperatur biasa pengaruh entropi pada arah reaksi umumnya relatif kecil kecuali jika selisih energi ikat total produk dan reaktan relatif kecil.
  5. Semua reaksi kimia yang melibatkan kenaikan entropi akan  berlangsung secara spontan pada temperatur yang cukup tinggi.
     Tabel 1.3 Pengaruh massa terhadap entropi gas pada suhu 25oC (kal/der.mol)
X
F
Cl
Br
I
HX
41,51
44,65
-
-
NaX
51,70
54,88
-
-
MgX2
55,89
61,50
-
-
PbX2
69,35
76,63
82,43
85,91
BX3
60,71
69,32
-
-
ZrX4
76,95
87,37
98,78
108,42
NOX
59,27
-
65,38
67,67

D.    KINETIKA REAKSI
Pada bagian ini akan diuraikan pengantar kenetika yang meliputi: laju reaksi kimia (r) dan hukum laju reaksi, pengaruh suhu pada laju reaksi kimia serta peranan katalis dalam reaksi kimia
Laju reaksi bergantung pada beberapa faktor antara lain suhu, konsentrasi, tekanan dan katalis. Pembahsan pada bagian ini akan dibatasi pada pengaruh suhu dan peranan katalis dalam reaksi kimia.
1. Laju (r) dan Hukum Laju Reaksi Kimia
Laju reaksi . Laju reaksi adalah perubahan konsentrasi zat-zat dalam reaksi kimia tiap satuan waktu. Jika suatu reaksi, aA +  bB ® gC + dD, maka persamaan laju reaksinya dapat dinyatakan sebagai berikut :
r = -1/a d[A]/dt = -1/b d[B]/dt = + 1/g d[C]/dt = + 1/d d[D]/dt        (1.17)

      Hukum Laju. Hukum laju merupakan suatu persamaan aljabar yang ditentukan secara eksperimen. Secara umum hukium laju dapat dinyatakan sebagai berikut :
r = k [A]m [B]n                                                                         (1.18)
dengan k = konstanta laju reaksi
            m = orde reaksi A
             n = orde reaksi B
m + n = orde reaksi
Dari persamaan (1.17) dan (1.18) kita dapat menentukan persamaan hukum laju orde reaksi ke-n komponen tunggal reaksi ireversibel dapat dijabarkan dengan metode integrasi.
-          Orde reaksi ke-nol (n = 0)
      a® Produk
r = -1/a d[A]/dt = k[A]n
untuk n = 0
-1/a d[A]/dt = k[A]0
-1/a d[A]/dt = k
1/a d[A] = kdt
d[A] = -akdt                                                                                             (1.19)
Jika persamaan (1.19) integralkan maka :
òd[A] = -ak òdt , pada t = 0; [A] = Ao dan t = t; [A] = At
sehingga akan diperoleh :
A = -akt + Ao                                                                                           (1.20)
Hal yang serupa dapat dijabarkan untuk orde reaksi yang lain.


2. Pengaruh suhu pada Laju Reaksi
Kecepatan reaksi kimia akan bertambah dengan naiknya suhu. Kenaikan suhu pada suatu reaksi kimia akan meningktkatkan vibrasi molekul yang terlibat dalam reaksi. Jika vibrasi meningkat maka frekuensi tumbukan antar molekul, juga akan meningkat sehingga laju reaksi akan semakin besar.
Ada 2 (dua) teori yang digunakan untuk menjelaskan kebergantungan laju reaksi pada suhu.
1.      Teori Arrhenius
dlnk/dT = Ea/RT2                                                                          (1.21)
jika persamaan (1.21) diintegralkan akan diperoleh:
 ln k = - Ea/RT + ln A                                                                   (1.22)
dengan k = konstanta laju reaksi
           Ea = energi aktivasi
            A = konstanta Arrhenius
            T = suhu (K)
             R = konstanta gas
Pada suhu tertentu, makin tinggi energi aktivasi maka makin lambat reaksi yang berlangsung. Dengan membuat kurva log k terhadap T nilai Ea dan A dapat ditentukan.
2.      Teori Laju Reaksi Absolut
Pada dasarnya teori ini mmenyatakan bahwa pada tahap penentu kecepatan reaksi, zat-zat reaktan, A dan B bergabung secara reversibel membentuk suatu kompleks teraktivasi, AB* yang selanjutnya terdekomposisi menjadi produk. A + B = AB* ® Produk. Konstanta kesetimbangan semu untuk kompleks teraktivasi tersebut dapat dituliskan sebagai berikut :
K* = [AB*]/[A] [B]                                                                             (1.23)
Kompleks teraktivasi, AB* diasumsikan sebagai molekul biasa kecuali bahwa salah satu vibrasinya mempunyai gaya yang relatif kecil dan bersifat ireversibel. Frekuensi pada saat terjadinya disosiasi kompleks teraktivasi, AB* menjadi produk akan menimbulkan energi sebesar hu. Energi  tersebut diasumsikan setara dengan energi panas, kT yang dapat dijabarkan dengan persamaan-persamaan berikut :
 HAL 8
3. Peranan katalis dalam Reaksi Kimia
                        Katalis adalah suatu zat yang mengakibatkan reaksi lebih cepat mencapai kesetimbangan. Katalis tidak akan mengubah nilai tetapan kesetimbangan. menurut terori kecepatan rekasi absolut, peranan katalis adalah menurunkan energi bebas  pengaktifan, DG*. Katalis dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yaitu : (i) katalis homogen dan (ii) katalis heterogen. Salah satu contoh katalis homogen adalah katalisasi asam pada dekomposisi asam formiat. Pada proses tersebut asam kuat ditambahkan pada larutan asam fomiat.
            profil energinya lihat diCotton  !!!!!!!!!
            Salah satu contoh katalis heterogen adalah hidrogenasi olefin. Jika olefin dihidrogenasi pada suhu kamar, maka reaksi akan berjalan lambat.
RCH=CH2 + H2 ® RCH2CH3
Jika reaksi tersebut berlangsung pada temperatur yang tinggi, diharapkan reaksi akan berjalan cepat. Akan tetapi untuk hidrogenasi olefin jika dikerjakan pada suhu yang tinggi akan mengalami beberapa kendala antara lain : kesulitan mengatur suhu dan juga akan muncul produk lain yang tidak diharapkan. Karena itu, untuk mengatasi kendala  tersebut, kedalam reaksi tersebut perlu ditambahkan suatu katalis platinum dengan menggunakan padatan pendukung berupa alumina atau silika.
Mekanismenya Cari diCotton !!!!!!!!!!




E. POTENSIAL SEL DAN ELEKTRODA
1.      Pengertian Potensial Sel dan Elektroda
Secara termodinamika arah dan batasan reaksi ditunjukkan oleh besaran DG°, tetapi dalam prakteknya tidak mudah untuk mengukur besaran tersebut. Umumnya DG° dapat ditentukan melalui reaksi redoks dengan cara menghitung perbedaan potensial antara dua elektroda, DE (dalam volt). Nilai DE tersebut dapat dihubungkan dengan DG° melalui persamaan-persamaan berikut :
                                                                                   (1.24)
DE° disebut potensial standar, n adalah jumlah electron seperti yang tertulis dalam reaksi redoks ,F adalah konstanta Faraday, 96.500 coulomb dan Q adalah ungkapan persamaan aljabar reaksi yang identik dengan konstanta kesetimbangan reaksi kimia.
Jika konsentarsi masing- masing zat dalam rekatan dan produk sama dengan satu maka ln Q = ln 1 = 0. Dengan demikian maka nilai DE akan sama dengan nilai DE°.
Contoh :
Zn(s) + 2H+(aq)  Zn2+(aq) + H2(g)
Q = aH2 . aZn2+/aZn . (aH+)2                                                               (1.25)
Mengingat aktivitas Zn = 1 (aktivitas padatan = 1) maka persamaan diatas menjadi :
Q = aH2 . aZn2+/(aH+)2                                                                        (1.26)
Jika reaksi redoks di atas tetap berlangsung hingga reaksi mencapai keadaan kesetimbangan maka nilai numerik Q akan sama dengan konstanta kesetimbangan K dan jika reaksi tersebut telah mencapai kesetimbangan maka dalam reaksi tersebut tidak ada lagi kecenderungan perpindahan elektron dari elektroda yang satu ke elektroda yang lain. Secara matematis pernyataan ini dapat dinyatakan bahwa Q = K dan DE = 0 sehingga persamaan (1.24) menjadi :
               
          
                                                                                     (1.27)
Mengingat :  maka                                                         (1.28)
dari persamaan (1.27) dan (1.28) akan diperoleh
                                                                                          (1.29)
            Nilai reaksi dari serangkaian reaksi kimia dapat diperoleh melalui penjumlahan aljabar serangkaian reaksi. Berdasarkan persamaan (1.29) maka nilai     reaksi  juga dapat diperoleh dengan cara yang identik dengan nilai reaksi. Namun perlu diingat bahwa dalam penjumlahan aljabar serangkaian reaksi dalam penentuan nilai reaksi, ada faktor n dan F. Jika dalam suatu reaksi redoks nilai n pada reaksi oksidasi sama dengan nilai n pada reaksi reduksi maka dalam penentuan reaksi, nilai n tersebut dapat diabaikan .  Mengingat F adalah suatu konstanta maka faktor tersebut juga dapat diabaikan. Sebagai contoh dapat dilihat pada reaksi berikut :
(n = 2)       Zn(s) + 2H+(aq)  Zn2+(aq) + H2(g)               nF= +0,763 V
(n = 2)      2Cr3+(aq) + H2(g) 2Cr2+(aq) + 2H+(aq)          nF= -0,408 V
(n = 2)       Zn(s) + 2Cr3+(aq) Zn2+(aq) + 2Cr2+(aq)        nF= +0,355 V
Reaksi ketiga diperoleh dari penjumlahan aljabar reaksi pertama dan kedua, sehingga diperoleh persamaan :
nF+   nF=   nF                                                      (1.30)  
Pada reaksi di atas, nilai n = 2 sehingga diperoleh :  
2F+   2F=   2F 
2F(+   )  =   2F 
         +   =                                                             (1.31)



2.      Tanda nilai
Secara fisik, tidak ada cara yang absolut untuk memakai tanda aljabar dalam pengukuran nilai . Untuk itu harus dibuat suatu perjanjian, seperti digambarkan di atas, bahwa tanda-tanda tersebut adalah kebalikan satu dengan lainnya. Pada reaksi kimia berimbang yang sebenarnya, perjanjian tanda untuk nilai ditentukan dengan persamaan (1.29). Nilai merupakan besaran termodinamika yang dapat dijadikan rujukan untuk menentukan spontanitas reaksi kimia. Makin negatif nilai maka reaksi tersebut semakin spontan. Dari persamaan (1.29) dapat dinyatakan bahwa jika makin negatif maka akan semakin positif . Dengan demikian maka kesetimbangan reaksi cenderung bergeser kearah produk. Oleh karena itu untuk reaksi-reaksi yang memiliki nilai yang positif akan cenderung berlansung spontan seperti reduksi Cr3+ menjadi Cr2+ oleh logam Zn, (= +0,355 V).

3.      Setengah Sel dan Potensial Setengah Sel (Elektroda)

Setiap reaksi kesetimbangan dalam reaksi redoks, dapat dituliskan secara terpisah dalam dua ˝ setengah reaksi˝  . Sehubungan dengan itu, setiap sel elektrokimia dapat dipisahkan menjadi dua setengah sel hipotesis. Potensial sel sesungguhnya, dapat diasumsikan sebagai jumlah aljabar dari dua potensial setengah sel. Menurut IUPAC potensial setengah sel dan potensial elektroda dituliskan dalam bentuk reduksi dan dalam bentuk potensial setengah sel atau potensial elektroda. Ketentuan ini akan lebih mudah dihafal dengan menandai bahwa reaksi setengah sel dengan potensial negatif   adalah kaya akan elektron. Bila dua buah setengah sel digabungkan menghasilkan sel elektrolitik sempurna, maka elektroda yang mempunyai potensial standar setengah sel yang lebih negatif akan menjadi elektroda negatif secara fisik.     
Dalam ketiga reaksi di atas terdapat tiga setengah reaksi
Pertama : Reaksi antara Zn dan H+(aq) 
              Zn(s)  Zn2+(aq) ) + 2e-          = +0,763 V
2H+(aq)  + 2e H2(g)                         =   0,000 V
        Zn(s) + 2H+(aq) Zn2+(aq) + H2(g)       = +0,763 V
Kedua : Reaksi antara Cr2+(aq) dan H+(aq)
Cr3+(aq) +  e- Cr2+(aq)             (x2)
            H2(g)  2H+(aq)  + 2e-            (x1)      
2Cr3+(aq) +  2e- 2Cr2+(aq)                         = -0,408 V
               H2(g)  2H+(aq)  + 2e-               =   0,000 V
           2Cr3+(aq) +  H2(g)  2Cr2+(aq)  +  2H+(aq)   = -0,408 V
Ketiga : Reaksi antara Cr3+(aq) oleh Zn(s)
  Zn(s)  Zn2+(aq) ) + 2e-                          = +0,763 V
2Cr3+(aq) +  2e- 2Cr2+(aq)                       = -0,408 V
    Zn(s) + 2Cr3+(aq) Zn2+(aq) + 2Cr2+(aq)           = +0,355 V
Secara aljabar, potensial sel dari ketiga reaksi di atas dapat dituliskan sebagai berikut: 
2 +  2  =  2
2( +   ) =  2
       +   = 
Jika dalam suatu reaksi redoks nilai n pada reaksi oksidasi tidak sama dengan nilai n pada reaksi reduksi maka dalam penentuan reaksi, nilai n tersebut tidak dapat diabaikan. Sebagai contoh dapat dilihat apada reaksi berikut :
Cl-  + 3H2O  ClO3-  + 6H+ + 6e  =   -1,45V         6=   -8,70V
e + 1/2Cl2   Cl-                            =   +1,36V        1=   +1,36V
1/2Cl2  + 3H2O  ClO3-  + 6H+ + 5e                            5=   -7,34V
Hubungan yang benar adalah :  +   =  jadi  +    .